Selasa, 02 Juli 2024 | 13:58
NEWS

Orasi Ilmiah pada Wisuda Gelombang III Tahun 2024

Prof. Rokhmin Dahuri Ungkap 8 Karakter Dibutuhkan di Abad 21 Bagi Alumni Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Prof. Rokhmin Dahuri Ungkap 8 Karakter Dibutuhkan di Abad 21 Bagi Alumni Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA -  Setiap insan, tak terkecuali para wisudawan, mendambakan kehidupan yang sukses dan bahagia. Sebagai warga negara Indonesia dan warga dunia yang baik, seorang alumni Perguruan Tinggi yang sukses juga diharapkan turut berkontribusi signifikan bagi terwujudnya Indonesia Emas (maju, adil-makmur, dan berdaulat) paling lambat pada 2045; dan dunia yang lebih baik, adil, sejahtera, damai, dan berkelanjutan (a better, just, prosperous, peaceful, and sustainable world).

Demikian Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS  saat menyampaikan Orasi Ilmiah pada Wisuda Sarjana dan Pasca Sarjana Gelombang III tahun 2024 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, di Gedung Auditorium Kampus Untirta Sindangsari, Banten, Ahad (30/6).

“Lebih dari itu, sebagai insan yang beriman, sukses dan kebahagiaan hidup itu tentu bukan hanya di dunia fana ini, tetapi juga di akhirat kelak,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri dengan membawakan tema  “Mempersiapkan Wisudawan Untuk Hidup Sukses Dan Bahagia Dalam Menghadapi Kompleksitas Tantangan Nasional Dan Global”.

Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, profil alumni Perguruan Tinggi yang dibutuhkan di abad-21 adalah mereka yang memiliki 8 karakter (ciri) berikut. Pertama adalah kompeten pada bidang IPTEK dan seni (program studi) yang ditempuh selama kuliahnya.

Kedua, memiliki kemampuan analisis, sintesis, kritis, kreatif, inovatif, dan problem solving (memecahkan masalah). Ketiga, menguasai dan terampil menggunakan teknologi digital termasuk komputer, HP, dan gadget lainnya.

Keempat, memiliki soft skills seperti dapat memelihara dan memompa motivasi diri, adaptive (cepat belajar dan menyesuaikan diri dengan hal baru), agile (gesit, cekatan), bisa bekerjasama, teamwork, disiplin, entrepreneurship, dan leadership.

Kelima, menguasai sedikitnya satu bahasa asing seperti Inggris, Arab, atau Mandarin. Keenam, berakhlak mulia termasuk jujur, amanah, fathonah (cerdas dan visioner), tabligh, berempati, menyayangi sesama makhluk Tuhan YME, sabar, bersyukur, dan qanaah. Dan, ketujuh adalah beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.

Lebih dari itu, saling hormat dan menghormati antar pemeluk agama, dan senang hidup harmonis penuh kedamaian dengan sesama insan, tanpa memandang suku, agama, dan latar belakang primordial lainnya. Iman dan taqwa kepada Allah SWT, Tuhan yang menciptakan kita manusia dan alam semesta.

“Ini sangat penting supaya kita terus istiqomah mengerjakan kebajikan, menuntut dan mengamalkan IPTEK (lifelong learning and action), menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan, merawat lingkungan hidup, dan amal saleh lainnya,” tuturnya.

Juga, sambungnya, agar kita terus konsisten menjauhi beragam jenis kemaksiatan, narkoba, korupsi, perzinahan, kebohongan, kedzaliman, kemalasan, iri, dengki, dan larangan Tuhan yang lainnya. Iman dan Taqwa juga membuat kita ikhlas, sabar, dan tangguh dalam menghadapi segala bentuk ujian duniawi. Sebab, baginya kehidupan di dunia ini hanya sementara dan panggung sandiwara.

Sedangkan, kehidupan yang sejati, adil, dan abadi adalah di akhirat kelak. Tujuan utama dan akhir dari kehidupannya adalah surga di akhirat kelak. Maka, insan yang beriman dan taqwa terus akan bekerja, berusaha secara profesional dan berdoa kepada Allah SWT, sedangkan hasilnya di dunia berupa harta, jabatan, polularitas, dan atribut duniawi lainnya diserahkan (akan tawakal) kepada Tuhan YME. Dia akan jauh dari sifat malas, furstasi, putus asa, apalagi bunuh diri.

“Diharapkan, setelah wisuda ini, saudara-saudar semua harus terus membaca dan belajar tentang IPTEKS baru (inovasi) dan softskills baru. Karena, belajar dan  menuntut ilmu itu sejatinya harus “dari sejak kita lahir hingga sebelum wafat” (Hadits), Long-life Education,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

Untuk itu, ia berharap Orasi Ilmiah ini dapat memberikan semacam perspektif, wawasan, dan tambahan bekal bagi para wisudawan untuk hidup sukses dan 2 bahagia di era dunia yang serba tidak menentu (uncertain) akibat pesatnya kemajuan tekonologi Industry 4.0 (khususnya teknologi digital, Big Data, IoT, Blockchain, AI, robotics, advanced materials, bioteknologi, dan nanoteknologi); triple ecological crisis (pencemaran, biodiversity loss, dan Perubahan Iklim Global).

Dan kian meruncingnya ketegangan geopolitik global seperti perang Rusia vs Ukraina, invasi dan genosida Israel terhadap bangsa Palestina, konflik Laut Cina Selatan, konflik Semenanjung Korea, dan rivalitas Amerika Serikat vs. China.

Maka, untuk menjadi alumni Perguruan Tinggi (Diploma, Sarjana, Magister, dan Doktor) yang berhasil, para wisudawan mesti memahami kondisi kehidupan dan status pembangunan bangsa kita saat ini, dan Peta Jalan (Road Map) Pembangunan Bangsa Menuju Indonesia Emas pada 2045 di tengah dinamika global diatas.

Pemahaman mengenai segenap informasi tentang pembangunan bangsa dan dinamika peradaban gobal tersebut dapat dijadikan dasar bagi para alumni Perguruan Tinggi untuk mengidentifikasi dan memetakan kebutuhan pembangunan, jenis pekerjaan (profesi), karakteristik atau profil SDM (Sumber Daya Manusia), dan IPTEK yang dibutuhkan untuk masa kini dan masa depan.

“Dengan demikian, setelah acara wisuda ini para wisudawan akan mampu mempersiapkan diri (positioning) untuk menjadi insan yang hidupnya sukses, bahagia di dunia dan akhirat, serta bermanfaat bagi sesama insan serta alam semesta (rahmatan lil a’lamin),” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Iptek Dan Profil Lulusan Perguruan Tinggi

Dalam kesempatan itu, Guru Besar Kehormatan Mokpo National University, Korea Selatan tersebut memaparkan, Informasi tentang modal dasar pembangunan Indonesia, status dan tantangan pembangunan bangsa Indonesia, dinamika peradaban global, dan peta jalan pembangunan menuju Indonesia Emas.

“Saya deskripsikan diatas; mestinya memberikan wawasan dan bekal bagi kita, terutama para wisudawan dan wisudawati untuk memperkirakan dan menentukan jenis-jenis IPTEK, keahilan, profesi, dan profil (karakter) SDM (lulusan Peguruan Tinggi) yang dibutuhkan saat ini dan di masa depan (abad-21),” sebutnya.

Lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu membeberkan, ada 12 (duabelas) kelompok IPTEK dan keahlian yang dibutuhkan di abad-21 ini, antara lain: Pertama, berbagai jenis IPTEK dan keahlian yang terkait dengan teknologi dan manajemen untuk memproduksi semua jenis produk dan jasa untuk memenuhi 5 kebutuhan dasar manusia secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif (berkeadilan), ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable), yakni:

(1) pangan dan minuman (seperti pertanian, peternakan, perikanan, teknologi pengolahan dan pengemasan pangan, dan bioteknologi); (2) sandang (serat, tekstil dan produk tekstil); (3) perumahan (bahan bangunan dan teknik pembuatan bangunan); (4) kesehatan (seperti kedokteran, gizi, olah raga; dan (5) pendidikan.

Kedua, IPTEK dan keahlian yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier manusia. Kebutuhan sekunder antar lain berupa: kelengkapan dan peralatan rumah tangga (home appliances) seperti mebeler, 16 kitchen set, AC, dan TV; HP (telepon genggam), komputer, sepeda motor, mobil, kapal laut, dan pesawat udara. Adapun kebutuhan tersier antara lain mencakup: perawatan kebugaran (wellness), kecantikan, rekreasi, pariwisata, dan ‘medsos’.

Ketiga, yang terkait dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bandara, air bersih, bendungan, jaringan irigasi, jaringan listrik, jaringan pipa gas, serat optic, dan kabel di bawah laut. Keempat, yang terkait dengan transportasi, komunikasi, dan konektivitas digital.

Kelima, yang terkait dengan aspek HANKAM (Pertahahan dan Keamanan) termasuk industri pertahanan. Keenam, yang terkait dengan eksplorasi, eksploitasi (produksi), pengolahan, transprotasi, dan distribusi berbagai jenis mineral dan bahan tambang dan galian.

Contoh mineral: nikel, bijih besi, pasir besi, bauksit, emas, tembaga, perak, mangan, dan mineral tanah jarang (rare earth). Ketujuh, yang terkait dengan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, transportasi, dan distribusi beragam jenis energi.

Contoh energi: (1) yang tidak terbarukan (non-renewable energy) termasuk minyak, gas, dan batubara; dan (2) yang terbarukan (renewable energy) seperti energi matahari, angin, panas bumi (geothermal), air (hydropower), biofuel (energi dari bahan-bahan nabati), energi gelombang laut, energi arus laut, energi pasang surut laut, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), nuklir, dan hidrogen.

Kedelapan, yang terkait dengan teknologi dan manajemen lingkungan supaya pembangunan ekonomi dapat berlangsung secara berkelanjutan. Ini meliputi: (1) perencanaan tata ruang wilayah (RTRW); (2) pengendalian pencemaran; (3) konservasi keanekaragam hayati (biodiversity) pada level (tingkat) genetik, spesies, dan ekosistem; dan (4) cara-cara mengubah bentang alam, mendesain, dan membangun infrastruktur serta bangunan yang sesuai dengan struktur, karakteristik, dan dinamika lingkungan alam (design and construction with nature).

Kesembilan, yang terkait dengan mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim (Global Climate Change), gempa bumi, tsunami, bencana hidrometri (seperti banjir, eosi, dan longsor), badai, dan bencana alam lainnya.

Kesepuluh, terkiait dengan beragam jenis teknologi yang lahir di era Industry 4.0 sejak awal abad-21 ini sebagaimana telah saya uraikan diatas. Yakni: teknologi digital, IoT, AI, Blockchain, Cloud Computing, Robotics, semikonduktor, chips, advanced materials, Nanoteknologi, dan Bioteknologi.

Kesebelas, yang terkait dengan manajemen pembangunan ekonomi, investasi, bisnis, dan perdagangan. Keduabelas, yang terkait dengan ilmu-ilmu dasar yang dibutuhkan sepanjang masa, termasuk untuk mendukung pengembangan kesebelas kluster IPTEK diatas. Contohnya adalah: matematika, fisika, kimia, biologi, engineering, metalurgi, 17 geologi, geodesi, geomorfologi, oseanografi, limnologi, klimatologi, ekonomi, psikologi, antropologi, sosiologi, hukum, dan politik.

Modal Dasar Pembangunan Indonesia

Guru Besar Emiritus Shinhan University, Korea Selatan itu menguraikan Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat. Modal dasar pembangunan yang pertama adalah besarnya jumlah penduduk, yang mencapai 278,7 juta orang (BPS, 2023). Ini merupakan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah China 1,4 milyar orang, India 1,3 milyar orang, dan Amerika Serikat 376 juta jiwa (PBB, 2023).

Besarnya jumlah penduduk berarti Indonesia memiliki potensi pasar domestik yang luar biasa besar. Selain itu, selama kurun waktu 2020 sampai 2032 Indonesia mengalami ‘Bonus Demografi’ (Demographic Devident), dimana jumlah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) melebihi jumlah penduduk berusia tidak produktif.

Apabila pemerintah dan rakyat Indonesia mampu mengelola ‘Bonus Demografi’ itusecara cerdas dan benar, dengan meningkatkan kualitas (knowledge, skills, expertise, etos kerja, dan akhlak) SDM nya, dan menciptakan lapangan kerja yang mensejahterakan. Maka, ini bakal meningkatkan 3 produktivitas, daya saing, dan pertumbuhan ekonomi inklusif yang dapat menjadikan Indonesia sebagai negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat.

“Sebaliknya, bila pemerintah dan rakyat gagal memanfaatkan ‘Bonus Demografi’ tersebut, maka Indonesia bakal terjebak sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income trap), alias akan gagal menjadi bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas),” tegasnya.

Lanjutnya, modal dasar kedua adalah berupa kekayaan SDA (Sumber Daya Alam) yang sangat besar, baik SDA terbarukan (seperti hutan, lahan pertanian, peternakan, perikanan, energi terbarukan, dan keanekaragam hayati) maupun SDA tidak terbarukan yang meliputi minyak, gas bumi, batubara, nikel, tembaga, emas, bauksit, bijih besi, pasir besi, mangan, mineral tanah jarang (rare earth), jenis mineral lainnya, dan bahan tambang.

Beragam jenis SDA itu tersebar di wilayah laut dan daratan, dari Sabang hingga Merauke, dan dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote. Kekayaan SDA yang melimpah ini mestinya menjadikan Indonesia sebagai produsen (supplier) utama berbagai jenis komoditas dan produk untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor secara berkelanjutan.

Mulai dari produk pangan dan minuman, sandang (tekstil, garmen/pakaian, sepatu, dan jenis pakaian lainnya), perumahan dan bahan bangunan, farmasi dan obat-obatan (kesehatan), semikonduktor, chips, elektronik, otomotif, mesin dan peralatan transportasi, teknologi informasi dan digital, bioteknologi sampai nanoteknologi.

Modal dasar ketiga adalah berupa posisi geopolitik dan geoekonomi yang sangat strategis. Indonesia yang terletak di antara Samudera Pasifik dan Hindia, dan di antara Benua Asia dan Australia, menempatkannya di jantung (hub) Rantai Pasok Global (Global Supply Chain). Dimana, sekitar 45% dari seluruh komoditas, produk, dan barang yang diperdagangkan di dunia, dengan nilai rata-rata 15 trilyun dolar AS per tahun diangkut (ditransportasikan) oleh ribuan kapal melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dan wilayah laut Indonesia lainnya (UNCTAD, 2018).

Posisi geoekonomi yang sangat strategis ini harusnya dijadikan peluang bagi Indonesia sebagai negara produsen dan pengekspor barang dan jasa (goods and services) utama di dunia. Sehingga, dapat membuka lapangan kerja seluas mungkin, menghasilkan devisa yang besar, multiplier effects (efek pengganda), dan neraca perdagangan yang positip (surplus) secara berkelanjutan.

“Sayangnya, sejak 2010 hingga 2019 neraca perdagangan RI justru negatip terus. Artinya nilai total impor lebih besar ketimbang total nilai ekspor Indonesia. Dengan perkataan lain, bangsa Indonesia lebih sebagai konsumen dan pengimpor ketimbang sebagai produsen dan pengekspor barang dan jasa (goods and services),” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.

Status Dan Tantangan Pembangunan Indonesia

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri menyatakan, sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, alhamdulillah kita bangsa Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami perbaikan di hampir semua bidang kehidupan. Contohnya, kalau pada 1945 – 1955 sekitar 70 persen rakyat Indonesia masih miskin, pada 1970 jumlah rakyat miskin menurun menjadi 60 persen.

Pada 2004 tingkat kemiskinan turun lagi menjadi 16 persen, tahun 2014 mejadi 12 persen, dan tahun 2019 tinggal 9,2 persen. Sayang, karena pandemi Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 persen atau sekitar 27,6 juta orang (BPS, 2021). Kemudian, per Maret tahun ini kemiskinan tinggal 9,4 persen atau 26 juta orang (BPS, 2023).

Besaran ekonomi atau PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia saat ini mencapai 1,3 trilyun dolar AS atau terbesar ke-16 di dunia (World Bank, 2023). Namun, bila PDB sebesar itu dibagi dengan jumlah penduduk sebanyak 278 juta orang, maka per Juli 2023 GNI (Gross National Income) atau Pendapatan Nasional Kotor Indonesia baru mencapai 4.580 dolar AS per kapita.

Artinya, hingga sudah 79 tahun merdeka, status pembangunan (kemakmuran) Indonesia masih sebagai negara berpendapatan-menengah atas (upper-middle income country). Belum sebagai negara makmur (high-income country) dengan GNI per kapita diatas 13.845 dolar AS (World Bank, 2023). Sementara itu, negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura dengan potensi pembangunan yang jauh lebih kecil, tingkat kemakmurannya sudah jauh melampaui kita bangsa Indonesia.

Bahkan Singapura dan Brunei Darussalam sudah dinobatkan sebagai negara makmur, dengan GNI per kapita 67.200 dolar AS dan 31,410 dolar AS (Lampiran-4). Sementara itu, tingkat kemajuan bangsa Indonesia, yang diukur atas dasar kapasitas IPTEK (UNESCO, 2014), pun sampai sekarang masih berada di kelas-3 (technology-adaptor country), belum sebagai negara maju (technology-innovator country) atau kelas-1.

Technology-adaptor country adalah negara yang sekitar 70% kebutuhan teknologinya berasal dari impor, bukan dari hasil karya (inovasi) bangsa sendiri. Sebaliknya, negara maju (technology-innovator country) adalah negara yang lebih dari 70% kebutuhan teknologinya dipenuhi oleh hasil karya bangsanya sendiri, bukan dari impor.

Indonesia pun dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan pembangunan. Mulai dari rendahnya pertumbuhan ekonomi (rata-rata di bawah 7% per tahun), tingginya angka kemiskinan, ketimpangan ekonomi (kesenjangan pendapatan antara penduduk kaya vs miskin), disparitas pembangunan antar 5 wilayah, deindustrialisasi, kerusakan SDA (Sumber Daya Alam) dan lingkungan, sampai stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia).

Dengan garis kemiskinan sebesar Rp 580.000/orang/bulan, per Maret 2023 jumlah penduduk miskin sebesar 26,16 juta orang atau 9,4% jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2023). Tetapi, atas dasar garis kemiskinan internasional sebesar 3,2 dolar AS/orang/hari atau 96 dolar AS (Rp 1.440.000)/orang/bulan, jumlah orang miskin Indonesia mencapai 111 juta orang atau 37 % jumlah penduduk (Bank Dunia, 2023).

Dalam hal ketimpangan ekonomi, Indonesia merupakan negara terburuk ketiga di dunia, dimana 1% (satu persen) penduduk terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 46% total kekayaan negara. Yang terburuk adalah Rusia, dimana satu persen orang terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 58,2% kekayaan negara. Disusul Thailand, sekitar 54,6% (Oxfarm International, 2021).

Mengutip Oxfam International, 2017, Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu mengungkapkan, kekayaan 4 orang terkaya Indonesia (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia . “Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015),” sebutnya.

Permasalahan bangsa lainnya yang tak kalah rumit adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 56% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Akibatnya, P. Jawa mengalami beban ekologis yang sangat berat, dengan luas tutupan hutan kurang dari 15% total luas lahannya.

Padahal, untuk suatu pulau bisa berkelanjutan (sustainable), bila luas tutupan hutannya minimal 30% total luas lahnnya (Odum, 1976; Clark, 1989). Maka, jangan heran, di saat musim penghujan P. Jawa dilanda banjir dan tanah longsor dimana-mana. Sementara pada musim kemarau, P. Jawa mengalami kekeringan yang semakin parah.

Sementara itu, potensi pembangunan berupa SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang begitu melimpah di luar Jawa, belum dimanfaatkan secara optimal atau dicuri pihak asing. Implikasi lainnya adalah biaya logistik Indonesia menjadi salah satu yang termahal di dunia, sekitar 24% PDB.

Ini menjadi salah satu penyebab rendahnya daya saing ekonomi Indonesia. Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor industri manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI per kapitanya belum mencapai 13.845 dolar AS (status negara makmur).

Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2022 6 kontribusinya hanya sebesar 18% (Gambar-1). Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia saat ini hanya 4.580 dolar AS

Yang sangat mencemaskan adalah bahwa 21,4% anak-anak kita mengalami stunting (tengkes), 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). “Kondisi gizi bangsa yang sangt menyedihkan itu disebabkan karena ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) tidak mampu membeli satu paket makanan yang sehat dan bergizi, dengan harga Rp 22.126 per hari,” kata Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu mengutip Litbang Kompas, 2022.

Menurutnya, apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation. Muara dari dampak negatip akibat kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72. Padahal, sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80 (UNDP, 2021).

Ironisnya, dengan status masih sebagai negara berpendapatan menengah, tingginya angka kemiskinan, dan rendahnya IPM; berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, tembaga, hutan, dan ikan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi. Indonesia pun merupakan salah satu negara yang mengalami kerusakan lingkungan yang parah di dunia (UNEP, WWF; 2020).

Penyebab Ketertinggalan Bangsa Indonesia

Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia sebagai negara yang kaya SDA, tetapi belum mampu keluar dari middle-income trap dan menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat. Pada tataran praksis, penyebabnya karena kita belum punya Rencana Pembangunan Nasional yang holistik, tepat, dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan. Sejak awal era Reformasi, setiap ganti Presiden, Menteri, gubernur, Bupati, dan Walikota; kebijakan dan program nya berganti pula.

Jadi, bangsa kita ini dibuat bagaikan membangun ‘istana pasir’ atau ‘tarian poco-poco’. Tidak ada kemajuan pembangunan yang akumulatif dan berkelanjutan. Etos kerja, produktivitas, daya inovasi, dan akhlak kita sebagai bangsa pun tergolong rendah. Dan, kita mengalami defisit pemimpin bangsa yang capable (berkemampuan), kompeten, memiliki IMTAQ (Iman dan Taqwa) yang kokoh, berkahlak mulia, dan negarawan.

Dewasa ini, sebagian besar pemimpin bangsa sangat transaksional, ikut berbisnis, pembohong, melakukan NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi), dan hanya mementingkan diri, keluarga atau kelompok nya. Mayoritas mereka menjadi pemimpin karena pencitraan diri yang dibiayai oleh oligarki melalui para ‘buzzer’ nya.

Namun, akar masalah (root cause) dari ketertinggalan bangsa kita adalah karena sejak awal Orde Baru, kita menganut sistem (paradigma) Kapitalisme (Mubyarto, 2004; Sritua Arief dan Sri-Edi Swasono, 2014) dan sejak Reformasi kita menempuh demkorasi liberal. Bukan berdsarkan pada Pancasila. Parahnya, kita kurang atau tidak mengambil sisi-sisi positip dari Kapitalisme, seperti kerja keras, disiplin, mencintai dan menguasai IPTEK serta inovasi.

Tetapi, justru kita praktekan nilai-nilai Kapitalisme yang negatip, seperti rakus, hedonis, hanya mengejar untung sebesar-besarnya (profit maximization), mengeksploitasi yang lain, dan tidak mempercayai kehidupan akhirat.

Sejak awal Orde Baru sampai sekarang, perekonomian sebagian besar berbasis pada eksploitasi SDA, ekspor komoditas mentah, buruh murah, dan investasi asing. Akibatnya, keuntungan ekonomi (economic rent) dari berbagai kegiatan pembangunan, investasi, dan bisnis kebanyakan lari ke Jakarta atau negara-negara asal investor asing (regional leakages). Negara dan rakyat Indonesia hanya menikmati sebagain kecil keuntungan ekonomi itu atau ‘remah-remah’ nya saja.

Key Global Trends

Dalam kesempatan itu, Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan Seluruh Indonesia (ASPEKSINDO) membeberkan, Key Global Trends yang mempengaruhi perekonomian dan kehidupan manusia di abad-21.

Secara garis besar ada 5 kecenderungan global (key global trends) yang mempengaruhi pembangunan ekonomi dan kehidupan manusia di abad-21 ini, yaitu: (1) jumlah penduduk dunia yang terus bertambah; (2) perilaku manusia yang 8 merusak bumi seperti serakah, konsumtif (boros), egois, hedonis, hegemoniK, perbuatan maksiat, dan tidak beriman kepada Tuhan dan akhirat;

(3) kemajuan teknologi yang super cepat (disrupsi teknologi) era Industry 4.0 dan Society 5.0; (4) triple ecological crisis (Perubahan Iklim Global, pencemaran, dan biodiversity loss); dan (5) tensi geopolitik global yang kian meruncing, seperti perang Rusia vs Ukraina, Invasi dan Genosida Israel terhadap bangsa Palestina, dan rivalitas antara Amerika Serikat vs China (

Jumlah penduduk dunia yang terus bertambah. Dari 800 juta orang pada tahun 1750 menjadi 7 milyar orang pada 2015. Kemudian menjadi 8,2 milyar orang pada tahun lalu, dan diperkirakan akan mencapai 9,7 milyar jiwa pada 2050 dan 10,9 milyar orang pada 2100 (PBB, 2021).

Tentu, akan meningkatkan kebutuhan (demand) manusia akan bahan pangan, sandang, material untuk perumahan dan bangunan lainnya, obat-obatan (farmasi), jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan pendidikan, prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi, jasa rekreasi dan pariwisata, dan kebutuhan manusia lainnya. Implikasi nya adalah bahwa laju eksploitasi (pemanfaatan) SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) baik di wilayah (ekosistem) daratan maupun di wilayah lautan akan semakin meningkat.

“Yang saya maksud dengan jasa-jasa lingkungan dari ekosistem alam yang meliputi ekosistem darat (terrestrial) dan ekosistem perairan (laut, sungai, dan danau) adalah fungsi lingkungan untuk ruang pemukiman, transprotasi darat dan laut, infrastruktur, pariwisata, penyerap karbon (carbon sequestrian) dan gas rumah kaca (GRK) lainnya, siklus hidrologi, siklus biogeokimia, pengatur iklim, dan fungsi-fungsi penunjang kehidupan (lifesupporting functions) lainnya,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Selanjutnya, gaya hidup (lifestyle) manusia yang merusak Bumi, seperti serakah, konsumtif (boros), egois, hedonis, hegemonik, dan tidak beriman kepada Tuhan dan adanya akhirat, serta pesatnya kemajuan teknologi (Industry 4.0 dan Society 5.0) turut mendorong peningkatan eksploitasi SDA dan jasa-jasa lingkungan. Lebih dari itu, era Industry 4.0 (Revolusi Industri Keempat) yang melahirkan inovasi teknologi baru secara super cepat telah mengakibatkan disrupsi hampir di semua sektor pembangunan dan aspek kehidupan manusia.

Jenis-jenis teknologi baru yang lahir dan berubah super cepat di era Industri 4.0 ini berbasis pada kombinasi teknologi digital, fisika, material baru, dan biologi. Antara lain adalah IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence), Blockchain, Robotics, Cloud Computing, Augmented Reality dan Virtual Reality (Metaverse), Big Data, Biotechnology, dan Nannotechnology (Schwab, 2016).

Sayangnya, hingga saat ini aplikasi berbagai jenis teknologi Industry 4.0 di Indonesia kebanyakan masih pada sektor jasa dan distribusi saja seperti e-commerce, e-government, Gofood, Gojek, Shopee, dan Halodok. Sehingga, hanya meningkatkan permintaan terhadap berbagai barang dan jasa melalui promosi, pemasaran, dan delivery (jasa penghantaran) yang cepat, efisien, murah, aman, dan nyaman,” tandasnya.

Padahal, seharusnya pemanfaatan berbagai teknologi Industry 4.0 dapat meningkatkan 10 dan mengefektifkan sektor eksplorasi, produksi dan pengolahan (manufacturing) SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia (komoditas dan produk) yang terus meningkat.

“Alhamdulillah, dalam lima tahun terakhir mulai berkembang aplikasi teknologi Industry 4.0 di bidang produksi dan industri pengolahan SDA (komoditas) untuk meningkatkan produktivitas, volume produksi, dan keberlanjutan (sustainability) nya,” terang Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat itu.

Contohnya adalah e-Fishery (perikanan tangkap dan perikanan budidaya), Fishon (perikanan tangkap), smart-farming, dan smart-green mining. Sementara itu, Society 5.0 (Masyarakat 5.0 atau Masyarakat Super Pintar) adalah konsep masyarakat (kehidupan manusia) masa depan yang digagas oleh Jepang.

Society 5.0 merupakan sistem bermasyarakat yang berpusat pada manusia (human-centered society) atau mengutamakan manusian (bukan teknologi), yang menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan penyelesaian permasalahan sosial dan lingkungan hidup melalui sistem yang mengintegrasikan teknologi dunia maya dan fisik.

Society 5.0 adalah masyarakat yang dapat menyelesaikan berbagai tantangan dan permasalahan kehidupan dengan menggunakan berbagai inovasi teknologi yang lahir di era Industry 4.0 (CAO, Japan, 2019). Kalau Industry 4.0 menekankan pada bagaimana beragam jenis pekerjaan dilakukan secara otomatis, sedikit atau tanpa adanya peran manusia, oleh robot, drone, Artificial Intelligent (AI), Internet of Things (IoT), Block Chain, Cloud Computing, 5G, dan teknologi lainnya di era Industry 4.0.

Sedangkan, dalam Society 5.0, pusatnya adalah tetap manusia yang menggunakan dan mengendalikan semua jenis teknologi tersebut untuk menyelesaikan berbagai macam permasalahan kehidupan. Di era Industry 4.0 dan Society 5.0 selain menghadirkan berbagai hal positif yang membuat kehidupan manusia lebih produktif, sehat, mudah, efisien, dan nyaman.

Namun, juga banyak dampak negatifnya, seperti kecanduan gadget, tersebar luasnya film porno dan beragam jenis kemaksiatan, berita bohong (hoax), post truth alias kian memudarnya kepercayaan pada kebenaran ilmiah, hilangnya berbagai jenis pekerjaan, dan tekanan jiwa.

Dalam pada itu, pencemaran (pollution), kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversity loss), dan Perubahan Iklim Global (Global Climate Change) beserta segenap dampak negatipnya seperti gelombang panas, cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, pemasaman laut (ocean acidification), El-Nino, La- Nina, banjir, kebakaran lahan dan hutan, dan peledakan wabah penyakit.

“Bukan hanya mengurangi kemampuan ekosistem bumi untuk menghasilkan bahan pangan, 11 farmasi, energi, dan SDA lainnya. Tetapi, juga akan membuat kondisi lingkungan hidup tidak nyaman bahkan dapat mematikan kehidupan manusia,” kata Prof. Rokhmin Dahuri mengutip Sach, 2015 dan Al Gore, 2017.

Kemudian, meningkatnya tensi geopolitik global seperti perang antara Rusia vs Ukraina, Israel vs Palestina, dan rivalitas antara Amerika Serikat vs China telah memicu kenaikan harga pangan dan energi, inflasi yang tinggi, dan resesi ekonomi global. Akibat dari terganggunya produksi pupuk, pangan, dan energi serta rantai pasok global.

Selain itu, gelombang pengungsi (migrasi) penduduk dari dari negaranegara miskin dan/atau sedang perang ke negara-negara maju dan makmur juga semakin tak terbendung. Selain karena faktor ideologi, penyebab ketegangan geopolitik dan perang adalah perebutan wilayah dan SDA (resource war).

Kelima kecenderungan global diatas mengakibatkan kehidupan dunia bersifat VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, and Ambiguous), alias bergejolak, tidak menentu, rumit, dan membingungkan (Radjou and Prabhu, 2015).

“Oleh sebab itu, sistem dan lembaga Pendidikan Tinggi harus mampu mendesain dan memberikan kapasitas kepada para mahasiswa, alumniu nya, dan bangsa Indonesia yang dapat mengelola atau mengatasi fenomena VUCA tersebut untuk keberhasilan kita sebagai individu maupun sebagai bangsa,” terang Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

Menuju Indonesia Emas 2045

Untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan GNI per kapita sekitar 33.000 dolar AS dan PDB sebesar 7 trilyun dolar AS (ekonomi terbesar kelima di dunia) (Bappenas, 2019), Indonesia seyogyanya mengimplementasikan Peta Jalan Pembangunan Bangsa

Ada 10 IKU (Indikator Kinerja Utama, Key Performance Indicators) yang menggambarkan Indonesia Emas pada 2045. Pertama adalah bahwa pada 2045 GNI perkapita mencapai 33.000 dolar AS. Target ini dapat tercapai, bila laju pertumbuhan ekonomi dari 2024 – 2045 rata-rata sebesar 7% per tahun (Mc. Kinsey, 2019). Kedua, kapasitas teknologi mencapai kelas-1 (technologyinnovator country).

Ketiga, seluruh rakyat Indonesia hidup sejahtera alias tidak ada yang miskin (zero poverty), dengan garis kemiskinan menurut standar internasional sebesar 3,2 dolar AS/orang/hari (Bank Dunia, 2023). Keempat, seluruh penduduk usia kerja (15 – 64 tahun) harus dapat bekerja (punya matapencaharian) dengan pendapatan yang mensejahterakan diri dan keluarga nya (zero poverty).

Kelima, pemerataan kesejahteraan yang berkeadilan, dengan koefisien GINI lebih kecil dari 0,3. Keenam, kedaulatan (ketahanan) pangan, energi, farmasi, dan air harus kuat. Ketujuh, IPM mesti diatas 80. Kedelapan, daya dukung lingkungan, kualitas dan keberlanjutan lingkungan hidup harus pada tingkat yang baik sampai sangat baik.

Kesembilan, Indonesia harus berdaulat secara politik. Kesepuluh, pembangunan ekonomi dan industri harus ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable).

Untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan 10 IKU nya, di bidang ekonomi, kita harus mengimplementasikan enam kebijakan pembangunan ekonomi: (1) pemulihan ekonomi dari pandemi covid-19; (2) transformasi struktural ekonomi; (3) peningkatan kedaulatan (ketahanan) pangan, energi, farmasi, dan air; (4) penguatan dan pengembangan infrastruktur dan konektivitas digital; (5) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif dan atraktif; dan (6) kebijakan politik-ekonomi yang 13 kondusif bagi pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Karena transformasi struktural ekonomi merupakan prasyarat utama bagi sebuah negara-bangsa untuk dapat lulus dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), dan kemudian menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat. Maka, saya ingin sedikit mengelaborasi tentang proses transformasi struktural ekonomi.

Menurut United Nations (2008), “transformasi ekonomi struktural melibatkan realokasi faktor-faktor produktif dari pertanian tradisional ke pertanian modern, industri manufaktur, dan jasa; dan realokasi faktor-faktor produktif tersebut ke dalam aktivitas sektor manufaktur dan jasa. Hal ini juga berarti pengalihan sumber daya (faktor produktif) dari sektor dengan produktivitas rendah ke sektor dengan produktivitas tinggi. Hal ini juga terkait dengan kemampuan negara untuk mendiversifikasi struktur produksi nasional, yaitu: menghasilkan kegiatan ekonomi baru, memperkuat hubungan ekonomi dalam negeri, dan membangun kemampuan teknologi dan inovasi dalam negeri”.

Mengacu pada definisi dan pengertian tentang transformasi struktural ekonomi itu, maka untuk konteks Indonesia, transformasi struktural ekonomi mencakup enam kebijakan berikut. Pertama, transformasi ekonomi dari yang didominasi oleh kegiatan eksploitasi SDA dan ekspor komoditas mentah (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi pengembangan sektor industri manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).

Kedua, dari dominasi sektor impor dan konsumsi ke dominasi sektor investasi, produksi, dan ekspor. Ketiga, modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Keempat, revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru, seperti: (1) Makanan Minuman (pertanian, peternakan dan perikanan), (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan (7) pariwisata.

Kelima, pengembangan industri manufakturing baru, terutama di luar Jawa, seperti mobil listrik, EBT (Energi Baru Terbarukan), Semikonduktor, Chips, Baterai, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, Ekonomi Kreatif, dan Industri 4.0. Keenam, kelima proses pembangunan ekonomi tersebut mesti berbasis pada Pancasila, Ekonomi Hijau (Green Economy), Ekonomi Biru (Blue Economy), dan Ekonomi Sirkular (Circular Economy).

Dalam hal ini, program transisi energi, dari penggunaan energi fosil (batubara, minyak, dan gas) ke energi baru dan terbarukan (seperti solar energy, energi angin, bioenergy, panas bumi, hydropower, hidrogen, pasang surut, gelombang laut, dan Ocean Thermal Energy Conversion) harus 14 diprioritaskan guna memitigasi (mengcegah) terjadinya peningkatan suhu bumi diatas 1,50 C disbanding suhu bumi pada zaman pre-industri (1750-an).

Untuk dapat memanfaatkan kehadiran Ekonomi Digital (Industry 4.0) bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa; Indonesia harus malakukan 3 hal: (1) penguatan dan pengembangan infrastruktur digital (seperti jaringan satelit, internet, dan 5G) agar seluruh wilayah NKRI terkoneksi secara digital yang cepat, murah, dan terpercaya (reliable); (2) mengembangkan SDM (talenta) digital yang menguasai segenap jenis teknologi Industry 4.0 seperti saya uraikan diatas; dan (3) membangun ekosistem Industry 4.0.

Apabila ketiga hal fundamental ini tidak dilaksanakan, maka dikhawatirkan banyak generasi muda yang bakal menjadi pengangguran, dan perekonomian Indonesia sulit untuk maju, produktif, efisien, dan berdaya saing. Selanjutnya, dalam rangka mencegah dunia dari kehancuran, maka masyarakat dunia harus memperbaiki Sistem Kapitlisme secara fundamental atau mencari alternatif paradigma pembangunan baru yang mampu mengatasi sejumlah permasalahan kemanusiaan diatas.

Karena, paradigma pembangunan utama lainnya, Komunisme telah mati sejak 1989 dan Kapitalisme juga gagal menghadilrkan kesejahteraan, keadilan, dan keberlanjutan dunia, maka Pancasila dapat menjadi paradigm alternatif menuju dunia yang lebih baik, sejahtera, berkeadilan, damai, ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable).

Dalam perspektif Pancasila, manusia dan alam semesta adalah makhluk ciptaan Tuhan YME. Selain homo sapiens dan homo economicus (makhluk ekonomi), manusia juga homo religiosa (makhluk beragama). Manusia tidak hanya tersusun oleh jasad-fisik (jasmani), tetapi juga oleh ruh (rohani). Maka, kepuasan dan kebahagiaan insan Pancasilais tidak hanya berupa terpenuhinya kebutuhan jasmani, harta, jabatan, popularitas, dan atribut-atribut duniawi lainnya, tetapi juga terpenuhinya kebutuhan spiritual.

Seorang Pancasilais juga mengimani bahwa kehidupan di dunia ini sifatnya hanya sementara. Setelah kematian, manusia akan meninggalkan dunia yang fana menuju kehidupan akhirat yang sebenarnya dan abadi. Semua harta-benda, jabatan, istri dan anak keturunan yang dicintainya tidak menyertainya ke alam kubur dan akhirat. Hanya selembar kain kafan dan amal perbuatannya yang setia menemaninya ke alam akhirat untuk menghadap Tuhan yang menciptakannya. Bergantung pada iman dan amal-salehnya, manusia akan menggapai kebahagiaan (surga) atau siksaan (neraka) di akhirat kelak.

Dengan world view diatas, maka seorang Pancasilais dalam menjalankan kehidupan, baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat (bangsa) pasti 15 akan dilandasi dengan keimanan, taqwa, dan niat ikhlas karena Tuhan YME. Berperilaku adil dan beradab baik untuk bangsanya sendiri maupun masyarakat dunia. Mengutamakan persaudaraan, toleransi, dan persatuan, ketimbang iri hati, kedengkian, kebohongan, kemunafikan, perpecahan, apalagi perang.

Kemudian, mengedepankan azas musyawarah – mufakat yang dilandasi oleh hikmah dan kebijaksanaan di dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan voting dan pemilihan langsung. Dan, dia pasti akan berbagi kelebihan (harta, IPTEK, dan kekuasaan) kepada sesama yang membutuhkan secara berkeadilan.

“Bila Indonesia mampu menjadi negara-bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat serta berperan aktif dan signifikan dalam menjaga perdamaian dunia sesuai nilai-nilai Pancasila, maka Indonesia akan menjadi a role model, dan Pancasila sebagai paradigma pembangunan dunia adalah sebuah keniscayaan,” ujar Anggota Dewan Pakar Majelis Nasional KAHMI itu.

Komentar